Orang yang Bepergian Jauh Bolehkah Tidak Puasa?

- 31 Maret 2023, 11:37 WIB
Ilustras - oang berpergian dapatkah tidak berpuasa?
Ilustras - oang berpergian dapatkah tidak berpuasa? /pixabay

KILAS KLATEN - Orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dalam fiqih puasa dikenal dengan istilah musafir.

Ia merupakan salah satu golongan yang mendapatkan dispensasi (rukhsah) untuk tidak menjalankan puasa Ramadhan sekalipun mampu untuk berpuasa.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:   وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ  

Artinya, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah: 185).  

Di antara syarat-syarat boleh tidak puasa bagi musafir adalah perjalanan jauh dengan radius diperbolehkan shalat qashar (masafatul qashri), dengan tujuan yang dilegalkan oleh syariat (mubah), dan juga harus berangkat sebelum terbitnya fajar (Subuh).

Jika tidak memenuhi tiga syarat tersebut, maka ia harus tetap berpuasa dan tidak boleh membatalkannya.  

Namun demikian, saat ini banyak ditemukan orang-orang yang melakukan perjalanan jauh dan dengan tujuan yang dilegalkan oleh syariat.

Baca Juga: Doa Hari ke-9 Puasa Ramadhan, Berikanlah Aku Petunjuk Kepada Ajaran-Mu yang Terang

Bagi orang yang sedang bepergian dengan jarak tempuh minimal masafatul qashri (Jarak diperbolehkan untuk qashar salat) yakni 88, 749 KM, dan tidak ada tujuan maksiat dalam perjalanannya, ia boleh untuk tidak puasa.

Lantas bagaimana jika bepergian setelah subuh, apakah boleh tidak menjalankan puasa?

Dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa rukhsah atau keringanan tidak berpuasa bagi musafir setidaknya memiliki dua syarat, pertama perjalanan yang ia tempuh tidak kurang dari jarak di atas. Kedua, ia harus meninggalkan daerahnya sebelum fajar sidiq menjelang. Kenapa demikian?

Karena demi menghindari status yang double dalam dirinya, yakni status mukim dan bepergian di hari itu. Apa hubungannya?

Puasa di mulai dari fajar hingga terbit, jika seseorang yang sebelumnya berstatus sebagai orang yang mukim, lalu ia melakukan perjalanan di rentang waktu antara subuh hingga magrib, maka status musafir yang dimilikinya tidak penuh, sebagian ia berstatus sebagai mukim sebagiannya lagi sebagai musafir. Secara kaidah yang dimenangkan status mukimnya.

Sehingga konsekuensinya ia tidak diperkenankan membatalkan puasanya meski jarak tempuh yang ia lakukan pada hari tersebut sangat jauh.

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab, vol 6 hal. 260 Imam Nawawi menegaskan ;

ومن أصبح فى الحضر صائما ثم سافر لم يجز له ان يفطر فى ذلك اليوم

“Barangsiapa di pagi hari dalam kondisi berpuasa dan ia masih mukim lalu hendak bepergian, maka tidak boleh baginya untuk tidak berpuasa pada hari itu.”

Lebih lanjut dalam pembahasan ini mushannif membagi motif dan kondisi orang yang bepergian menjadi empat macam, kita fokus terlebih dahulu pada pembahasan kali ini, yakni bepergian setelah subuh ;

 (الثَّانِي) أَنْ لَا يُفَارِقَ الْعُمْرَانَ إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيْ الْمَعْرُوْفُ مِنْ نُصُوْصِهِ وَبِهِ قَالَ مَالِكُ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ لَيْسَ لَهُ الْفِطْرُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ وَقَالَ الْمُزَنِيْ لَهُ الْفِطْرُ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَاِسْحَقَ وَهُوَ وَجْهٌ ضَعِيْفٌ حَكَاهُ أَصْحَابُنَا

“Pembagian yang kedua yaitu, seseorang yang akan melakukan perjalanan tidak meninggalkan daerahnya kecuali subuh sudah menjelang, maka yang menjadi ketetapan dari Madzhab Syafi’I dan didukung pula oleh Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa ia tidak boleh membatalkan puasanya di hari itu.
 
 
Imam al-Muzani berpendapat kalau ia boleh-boleh saja tidak berpuasa, sependapat dengan beliau yakni Madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishaq. Dan ini menjadi pendapat yang lemah seperti yang ditegaskan oleh ashab kita.”

Imam Muzani memperbolehkan tidak berpuasa dengan menyamakan kondisi seseorang yang tetiba sakit di siang hari, sehingga teramat berat jika ia melanjutkan puasa, maka boleh baginya untuk makan.

Namun argumen beliau ini disangkal oleh pendapat pertama bahwa analogi yang beliau tawarkan kurang tepat. Sebab, orang sakit boleh tidak puasa karena dalam kondisi darurat, sedang dalam kasus orang yang bepergian tidaklah demikian.

Beda lagi kasusnya jikalau orang yang melakukan perjalanan itu mengalami sakit di tengah jalan, maka yang menyebabkan boleh tidak puasa baginya adalah kondisi sakit tersebut, bukan status perjalan jarak jauh yang ia lakukan.

Dari sini kita tarik kesimpulan bahwa pendapat yang paling kuat, ketika seseorang bepergian setelah subuh, ia tidak bisa mengambil dispensasi dari syariat berupa tidak puasa.

Dengan pertimbangan sebagaimana di atas. Namun ada pendapat lemah yang dipelopori Imam Muzani kalau seseorang tersebut boleh saja mengambil rukhshah. Sekian, semoga bermanfaat.***

Editor: Fajar Sidik Nur Cahyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x