Media Sosial dapat Sebabkan Orang Menjadi Cepat Marah, Benarkah?

11 Februari 2024, 22:46 WIB
Media Sosial dapat Sebabkan Orang Menjadi Cepat Marah, Benarkah? /Freepik/ilustrasi gambar orang sedang marah/

KILAS KLATEN - Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, menghubungkan miliaran pengguna di seluruh dunia.

Namun, sebuah fenomena yang semakin menonjol adalah bagaimana platform ini tampaknya memfasilitasi dan bahkan memperkuat emosi marah di antara penggunanya.

Sebuah studi terkini dari Universitas Yale, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, mengungkapkan bahwa media sosial, khususnya Twitter, telah berubah menjadi tempat subur bagi penyebaran kemarahan moral.

Kemarahan moral, yang didefinisikan sebagai kemarahan, jijik, atau frustrasi yang dianggap sebagai respons yang dapat dibenarkan terhadap ketidakadilan, tampaknya tidak hanya lebih sering diungkapkan tetapi juga lebih dihargai dalam lingkungan online.

Baca Juga: 5 Tips Mencuci Pakaian Agar Tetap Terlihat Bersih dan Wangi, Selektif dalam Pilih Detergen

Menurut studi tersebut, ekspresi kemarahan online sering kali mendapatkan respons positif dalam bentuk 'likes' dan 'shares', lebih banyak dibandingkan dengan jenis interaksi lainnya.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan lingkaran kemarahan yang terus-menerus tetapi juga meningkatkan intensitas dan frekuensi kemarahan moral di antara pengguna.

Penemuan penting lainnya dari studi ini adalah bahwa penghargaan online terhadap ekspresi kemarahan memiliki dampak yang paling signifikan pada pengguna yang terhubung dalam jaringan yang moderat secara politik.

Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya memperkuat sikap polarisasi tetapi juga mendorong individu yang mungkin sebelumnya lebih moderat untuk mengadopsi sikap yang lebih ekstrem sebagai respons terhadap ketidakadilan yang mereka perhatikan.

Implikasi dari fenomena ini cukup signifikan.

Pertama, ini menandakan bahwa media sosial, dengan algoritma dan strukturnya, dapat secara aktif membentuk diskursus publik, tidak hanya dengan memfasilitasi komunikasi tetapi juga dengan mempengaruhi emosi dan perilaku penggunanya.

Kedua, ini menimbulkan pertanyaan tentang kesehatan dialog publik dan demokrasi itu sendiri.

Ketika kemarahan menjadi mata uang yang paling berharga dalam diskusi online, ruang untuk diskusi rasional, empati, dan pemahaman bersama mungkin menyempit.

Menghadapi realitas ini, penting bagi pengguna media sosial untuk mengembangkan kesadaran diri tentang bagaimana platform ini mempengaruhi emosi dan perilaku mereka.

Baca Juga: 4 Ide Pekerjaan Sampingan yang Bisa Dikerjakan di Rumah, Buat Nambah Uang Jajan!

Edukasi digital dan literasi media dapat memainkan peran kunci dalam membantu individu mengenali dan mengelola dinamika ini.

Di sisi lain, para pengembang platform media sosial mungkin perlu mempertimbangkan kembali algoritme dan kebijakan mereka untuk mendorong bentuk interaksi yang lebih sehat dan konstruktif.

Sebagai kesimpulan, sementara media sosial terus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari struktur sosial kita, memahami dan mengatasi aspek negatif dari pengaruhnya menjadi semakin penting.

Melalui pendekatan yang lebih sadar dan terinformasi, masyarakat dapat memanfaatkan kekuatan media sosial untuk memperkuat bukan memecah belah, menciptakan ruang untuk dialog yang lebih inklusif dan produktif.***

Editor: Fajar Sidik Nur Cahyo

Sumber: cordis.europe.eu

Tags

Terkini

Terpopuler