KILAS KLATEN - Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, menghubungkan miliaran pengguna di seluruh dunia.
Namun, sebuah fenomena yang semakin menonjol adalah bagaimana platform ini tampaknya memfasilitasi dan bahkan memperkuat emosi marah di antara penggunanya.
Sebuah studi terkini dari Universitas Yale, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, mengungkapkan bahwa media sosial, khususnya Twitter, telah berubah menjadi tempat subur bagi penyebaran kemarahan moral.
Kemarahan moral, yang didefinisikan sebagai kemarahan, jijik, atau frustrasi yang dianggap sebagai respons yang dapat dibenarkan terhadap ketidakadilan, tampaknya tidak hanya lebih sering diungkapkan tetapi juga lebih dihargai dalam lingkungan online.
Baca Juga: 5 Tips Mencuci Pakaian Agar Tetap Terlihat Bersih dan Wangi, Selektif dalam Pilih Detergen
Menurut studi tersebut, ekspresi kemarahan online sering kali mendapatkan respons positif dalam bentuk 'likes' dan 'shares', lebih banyak dibandingkan dengan jenis interaksi lainnya.
Fenomena ini tidak hanya menciptakan lingkaran kemarahan yang terus-menerus tetapi juga meningkatkan intensitas dan frekuensi kemarahan moral di antara pengguna.
Penemuan penting lainnya dari studi ini adalah bahwa penghargaan online terhadap ekspresi kemarahan memiliki dampak yang paling signifikan pada pengguna yang terhubung dalam jaringan yang moderat secara politik.
Hal ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya memperkuat sikap polarisasi tetapi juga mendorong individu yang mungkin sebelumnya lebih moderat untuk mengadopsi sikap yang lebih ekstrem sebagai respons terhadap ketidakadilan yang mereka perhatikan.