Ketidaktegasan pemerintah daerah pantas kita curigai terkait dengan dugaan adanya keterlibatan dalam kejahatan kemanusiaan tersebut. Berdasarkan penelitian panjang lembaga internasional kehutanan, ditengarai adanya korelasi praktik kotor usaha perkebunan dengan kebutuhan proses pemilihan kepala daerah.
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1799-pembakar-hutan-penjahat-kemanusiaan
Kalimat fakta
Sekali lagi, itu semua memang bukan baru. Hingga 16 September, Kementerian LHK telah melakukan penyidikan terhadap lima perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana karhutla dan masih melakukan penyelidikan terhadap 44 perusahaan. Dari karhutla sebelumnya, 11 perusahaan diputus bersalah di pengadilan dan dijatuhi total denda Rp18,9 triliun. Namun, yang dibayar baru Rp400 miliar.
Kritik
Tak ada bahasa lain yang lebih tepat karena kebakaran hebat di lima provinsi yang ada di Sumatra dan Kalimantan itu ialah buatan manusia. Lebih spesifik lagi, itu buatan manusia di korporasi-korporasi jahat.
Fakta lama ini, kemarin, kembali kita dengar dari Presiden Joko Widodo. Dalam pemantauan langsung ke salah satu daerah yang mengalami karhutla, yakni Merbau, Riau, Presiden menyatakan bahwa kebakaran itu terorganisasi. Meski iklim kering ikut memudahkan kebakaran, otak kejahatan itu tetaplah perusahaan-perusahaan culas.
Penilaian
Sejak dulu, penyebab karhutla tetap sama. Maka, pertanyaan besarnya ialah mengapa praktik bejat membakar lahan tidak juga putus? Mengapa penyegelan dan denda triliunan itu tidak membuat jera?
Nyatanya memang putusan pengadilan hanya macan ompong tanpa penegakan soal denda ataupun revisi izin usaha. Di sinilah pekerjaan rumah terbesar pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.