Agar Ditakuti Atau…

- 28 Juni 2022, 14:03 WIB
Afriani, S.Pd
Afriani, S.Pd /Guru TK Negeri 6 Samarinda /

Oleh: Afriani, S.Pd *

PIKIRAN RAKYAT - Suatu hari, ibu saya sedikit menggerutu…

“Ya begini ini kalau di rumah ini nggak ada yang ditakuti, anak jadi semaunya sendiri!” Komentar beliau ini muncul,  menyusul tindakan cucu pertamanya (anak laki-laki saya, anak pertama, 10 th.). Jika libur, seperti biasa sejak pagi, setelah ‘jadwal’-nya di depan televisi usai, ia segera ‘beredar’ (istilah ibunya), bermain bersama teman-temannya. Siang hari biasanya ia pulang, mengambil sesuatu atau sekedar unjuk muka, atau makan siang, dan shalat dhuhur (setelah kami ingatkan).

Setelah itu, ia akan beredar lagi dengan teman-temannya. Sore hari, barulah ia pulang. Hari itu menjelang senja ia pulang, beberapa menit di rumah, untuk kemudian sudah bermain lagi. Menghilang dari padangan kami. Ibunya setengah berteriak memanggilnya untuk mandi. Saat itulah, si mbah paring dawuh seperti diatas.

Dalam benak ibu saya, dan barangkali jumhur orang tua, termasuk kita, ketaatan/kepatuhan seorang anak kepada ortunya menjadi barometer kesuksesan dalam mendidik anak , dan pangkal ketaatan atau indikator ketaatan ini dapat diukur dari seberapa ditakutinya orang tua (ayah biasanya) oleh oleh putra-putrinya.

Jika demikian, maka saya termasuk orang tua yang agaknya “gagal” dalam mendidik anak (setidaknya anak sendiri ….. mengingat saya juga seorang guru).  Dalam konteks profesi saya sebagai guru, …jika demikian, (sekali lagi), maka saya tergolong “tidak profesional” menjadi orang “tua kedua” (baca: guru) bagi para muridnya, meski berlisensi guru. Tak suskes mendidik anak sendiri, apatah lagi anak orang lain ?!

Jika kepatuhan anak kepada orang tua hanya  bisa didapatkan dengan jalan membuat anak takut kepada orang tua? Jika memang demikian, saya coba mengidentifikasi, hal-hal apa saja yang dapat membuat anak-anak takut kepada kita, orang tuanya sendiri. Saya ingin menempatkan amarah-lah sebagai yang pertama dan satu-satunya dalam hal ini.

Umumnya, amarah terungkapkan dalam bentuk kontak, baik “kontak fisik” (mulai dari “sekedar” mendorong kepala, jewer, cubit, cethol/tingkat lanjut dari cubit, hingga, pemukulan dengan atau tanpa alat bantu, juga “kontak verbal” (peringatan, ancaman, umpatan/bernada cemooh, dan mendiskriditkan  hingga sumpah serapah dan kutukan). Ia juga dapat dirasakan oleh obyek tertuju dengan “bahasa wajah”/mimik si pelaku, tahu aja kan, seperti apa wajah kita saat marah ?! Yakinlah, wajah itu lebih enak dinikmati jika dalam keadaan yang sebaliknya.

Bagi ortu (pelaku) sendiri, mereka akan menanggung beragam akibat fisik maupun psikologis. Ali bin Abi Tholib berkata bahwa marah itu gejala kegilaan. Sebab itu, seseorang setelah marah akan merasa menyesal. Jika tidak, maka kegilaan itu sudah menetap, lanjut Ali. Akibat yang diterima ananda pun tak kalah pelik buntutnya, berbanding lurus secara proporsional dengan bentuk perlakuan yang didapatnya.

Belakangan kita nyaris tak kaget saat mendengar/menyaksikan seorang ayah/ibu “menindak” anaknya sendiri hingga wafat. Kontak verbal pun ternyata menyumbangkan sekian entri bagi pembentukan pribadi menyimpang bagi ananda dikemudian hari. Pada tahun 1982, Jack Canfield, pakar masalah kepercayaan-diri, melaporkan hasil penelitiannya bahwa, setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung.

Halaman:

Editor: Masruro


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah