JAWABAN Bagaimana Analisis Saudara Tentang Penerapan Aliran Positivisme Hukum di Indonesia Beserta Ciri-ciri

27 Desember 2022, 15:18 WIB
JAWABAN Bagaimana Analisis Saudara Tentang Penerapan Aliran Positivisme Hukum di Indonesia Beserta Ciri-Cirinya /Pixabay/

KILAS KLATEN - Kabar gembira, karena artikel berikut akan mengupas jawaban soal bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.

Dengan membaca dan menyimak jawaban soal bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.

Pasalnya, soal bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya ini biasanya ditemui oleh mahasiswa jurusan hukum dalam Ujian Akhir Semester.

Berikut adalah soal dan jawaban bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.

Baca Juga: JAWABAN Bagaimana Analisis Saudara Mengenai Keberlakuan Hukum Tertulis dan Tidak Tertulis di Indonesia

Pertanyaan:

Bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di indonesia beserta ciri-cirinya?

Jawaban:

Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, das Sein dan das Sollen).

Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Baca Juga: JAWABAN Bagaimana Analisis Saudara Terhadap RKUHP Ini Bila Dikaitkan dengan Tujuan Hukum Menurut Lili Rasjidi

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Di Indonesia beberapa waktu belakangan, terlihat arah pemikiran terhadap positivisme hukum yang telah ditempatkan sebagai penyebab kegagalan kehidupan hukum yang menjauh dari rasa keadilan masyarakat.

Pada intinya kritik yang dilontarkan adalah bahwa terjadinya kegagalan hukum dalam memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan teori positivisme hukum dalam pembangunan hukum.

Dimana dalam pemahaman teori positivisme hukum, bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang-undang, dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek sosial di masyarakat.

Dalam berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari para penganut penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran hukum alam, mazhab sejarah hukum, aliran sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement.

Hukum responsif menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “ sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum.

Baca Juga: Positivisme Hukum: Pandangan tentang Hukum yang Berdasarkan Aturan yang Ditetapkan dan Diterapkan Secara Objek

Dari sejumlah persoalan yang terinventarisasi dari penerapan positivism hukum di Indonesia dengan sejumlah kritik yang menyertainya, kiranya tidak dapat dipukul rata.

Kritik terhadap psitivisme hukum di Indonesia yang berangkat dari pandangan Austin terhadap hukum, berkemungkinan terhadap hukum pidana dan atau pun terhadap hukum-hukum peninggalan kolonial.

Dalam konteks ini positivisme hukum di Indonesia harus dibedakan dengan implementasi positivism hukum di Barat.

Positivisme Hukum di Indonesia sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya, dimana pembangunan dan pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep negara hukum yang berlandaskan Pancasila.

Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya Positivisme hukum di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak memandang hukum sebagai perintah penguasa berdaulat atau hukum dipisahkan dari moral dan agama.

Baca Juga: TERJAWAB Hukum Pajak Berdasarkan Sifatnya Sebagai Wujud Kepastian Hukum Pemerintah dalam Penegakan Hukum Pajak

Ciri-ciri Positivisme Hukum Menurut HLA Hart :

a. Hukum Merupakan perintah dari manusia (Command of human being)

b. Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu sisi dengan moral di pihak lain, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang sesungguhnya.

c. Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibefakan pula dari penilaian yang bersifat kritis.

d. Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.

e. Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu

1) Aliran hukum positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin
2) Aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

Baca Juga: TERJAWAB! Mengapa Hukum Pajak Diatur Sebagai Disiplin Ilmu Tersendiri yang Terlepas dari Hukum Administrasi

Aliran Hukum Positif Analitis

Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur “perintah”. Pihak superior menentukan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari superioritas memaksa orang lain untuk taat.

Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.

Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws) dan hukum yang dibuat oleh manusia.

Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia kemudian dapat dibedakan lagi ke dalam hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.

Hukum dalam arti yang sebenarnya ini disebut juga dengan hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.

Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.

Baca Juga: Apa Akibat Hukum Bila Agraria dan Hukum Agraria Tidak Dikaitkan dengan Administrasi Pertanahan? Ini Jawabannya

Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu:

a. Perintah (command);

b. Sanksi (sanction);

c. Kewajiban (duty);

d. Kedaulatan (soveregnity).

Aliran Hukum Murni

Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsursosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Hans Kelsen.

Jadi hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (kategori faktual). Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.

Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius Constituendum).

Baca Juga: Pernikahan Beda Agama Disahkan di Jogja, Pengadilan Negeri: Hukum harus Memberi Jalan Keluar

Menurut Friedman, esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut:

• Tujuan teori hukum seperti halnya ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan;

• Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;

• Ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu alam;

• Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum;

• Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik

• Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Demikian jawaban dan pembahasan soal bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya.

Baca Juga: TERJAWAB! Mengapa Hukum Pajak Diatur Sebagai Disiplin Ilmu Tersendiri yang Terlepas dari Hukum Administrasi

Kebenaran jawaban soal bagaimana analisis saudara tentang penerapan aliran positivisme hukum di Indonesia beserta ciri-cirinya ini tidak mutlak, sehingga tidak menutup kemungkinan ada jawaban benar lainnya.***

Editor: Masruro

Sumber: Beragam Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler